JAKARTA,Khatib Salat Idul Fitri di Istiqlal, Masykuri Abdillah - Pendiri Yayasan Darussa'adah Rowosari Kendal.red- , mengakui bahwa di era reformasi, muncul ekspresi hak dan kebebasan yang terlalu bersemangat dan berlebihan, termasuk ekspresi keberagaan yang liberal dan radikal, sehingga menimbulkan sejumlah kasus intoleransi. Namun demikian, Masykuri - asal Bulak Rowosari Kendal Jateng.red- memastikan bahwa jumlah kasus intoleransi yang berlatarbelakang agama sebenarnya sangat sedikit. Kondisi objektif secara umum justru menunjukan bahwa hubungan antar umat beragama kini tetap baik, rukun, dan damau. “Bahkan kebijakan negara Indonesia tentang hal ini termasuk yang terbaik di dunia,” tegas guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, Senin (28/07).
Menurutnya, ada lima hal tentang kebijakan negara yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Pertama, pemberian kesetaraan kepada agama-agama minoritas dengan agama mayoritas, terutama penetapan hari besar enam agama sebagai hari libur nasional. Kedua, pelibatan agama-agama minoritas dalam struktur Kementerian Agama. Ketiga, pemberian pendidikan agama di sekolah untuk siswa pemeluk agama minoritas. Keempat, jumlah rumah ibadah kelompok minoritas sangat banyak. Kelima, jumlah sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh lembaga-lembaga keagamaan milik kelompok minoritas sangat banyak. Terkait itu, Masykuri mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadikan spirit Idul Fitri sebagai acuan bagi penguatan etika social yang berdasarkan persaudaraan, kedamaian, kerukunan, dan toleransi. Bangsa Indonesia, lanjut Masykuri, adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras, dan selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran. “Spirit Idul Fitri seyogyanya menjadi acuan bagi penguatan setika sosial yang berdasarkan pada persaudaraan, kedamaian, kerukunan, dan toleransi,” kata Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini. (sis maula/mkd/mkd) Disadur dari : kemenag.go.id
bantu menyempurnakan ya...
BalasHapus