KH. ABDULLAH BIN H. BAHRI
Lahir : Kendal, 14 Agustus 1921Alamat : Desa Bulak RT.05 RW.02 Kec. Rowosari Kendal
Jabatan : Penasehat Yayasan Darussa'adah Rowosari Kendal
Tugas Sosial Keagamaan:
Pengasuh Majlis Ta'lim NURUL IMAN Bulak RT.05 RW.02 Kec. Rowosari Kendal
Istri :
1. Hj. Azizah
2. Hj. Zaenab
Putra-Putri:
1. Hj. Munawaroh
2. Hj. Musrifah
3. Prof. Dr. H. A. Qodri Abdillah Azizy, MA
4. Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah Azizy, MA
5. Hj. Zaeniyatul Millah
Meninggal Dunia pada 20 Juni 2014 di usia 93 tahun
Keluarga besar MA Darussa'adah saat menjenguk KH. Abdullah di RS. Tugurejo Semerang sebelum meninggal dunia |
IN MEMORIAM "MBAH KAJI"
KH. ABDULLAH, bagi kalangan masyarakat Kendal, terutama di Kecamatan Rowosari lazim dipanggil "Mbah Kaji". Putra dari pasangan H. Bahri dan Hj. Nafi'ah ini lahir 24 tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada 14 Agustus 1921. Abdul Manan, begitu namanya saat kecil. Ia satu dari 6 bersaudara putra-putri H. Bahri. Diantara keturunan H. Bahri adalah :
- Nyai Aminah (Menetap dan meninggal di Bulak)
- Kyai Muhsan (Menetap dan meninggal di Jatipurwo)
- Kyai H. Abdullah/ Abdul Manan (Menetap dan meninggal di Bulak)
- Nyai Asiyah (Menetap dan meninggal di Bulak)
- Nyai Fatimah (Menetap dan meninggal di Bulak)
- Kyai H. Abdul hanif / Ahmad Subari (Menetap di Bulak)
Di masanya, belum ada pendidikan formal yang memadai. Hanya pendidikan besutan pemerintah Belanda yang hanya diperuntukkan kalangan bangsawan dan para saudagar. Tidak untuk kalangan rakyat biasa seperti keluarga Manan kecil. Itu sebabnya, Manan bersama 5 saudaranya yang lain hanya mengenyam pendidikan pada kiai di desa sekitar.
Sanad Pendidikan
Diawali belajar kepada Simbah H. Bahri ayahnya. Dengan metode pengajaran klasik di langgar sebagai tempat ibadah dan pendidikan agama bagi kalangan warga sekitar. terutama masyarakat Desa Bulak dan Gilisari Sendangdawuhan. Ini karena lokasi langgar Nurul Imam yang diasuh simbah Bahri berada di perbatasana desa antara bulak dan Gilisari.
Menurut keterangan Nyai. Fatimah (w. tahun 2011), adik kandung H. Abdullah, Langgar Nurul Iman dulu ada di sebelah timur pemakaman umum Desa Bulak, tepat sebelah barat kediaman Nyai Fatimah tinggal. Bentuknya masih khas Langgar panggung.
Sanad Pendidikan
Diawali belajar kepada Simbah H. Bahri ayahnya. Dengan metode pengajaran klasik di langgar sebagai tempat ibadah dan pendidikan agama bagi kalangan warga sekitar. terutama masyarakat Desa Bulak dan Gilisari Sendangdawuhan. Ini karena lokasi langgar Nurul Imam yang diasuh simbah Bahri berada di perbatasana desa antara bulak dan Gilisari.
Menurut keterangan Nyai. Fatimah (w. tahun 2011), adik kandung H. Abdullah, Langgar Nurul Iman dulu ada di sebelah timur pemakaman umum Desa Bulak, tepat sebelah barat kediaman Nyai Fatimah tinggal. Bentuknya masih khas Langgar panggung.
Saat masih kecil, bersama saudara dan teman sebayanya Manan juga belajar kepada Simbah Mas'ud Gilisari sahabat Simbah Bahri ayahnya. Ia Belajar berbagai displin ilmu keagamaan seperti Alqur'an, Fiqih, Tauhid, Akhlaq, dan juga Tasawwuf melalui Tariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Disebutkan dalam manaqib Syech Kiai Ibrahim yang ditulis oleh Rofiq Irzani HF terbitan Yayasan Ibrahimiyah Mranggen, disebutkan Bahwa Simbah Mas'ud adalah murid Kiai Ibrahim Brumbung Mranggen Demak. Dari Kiai Ibrahim inilah Simbah Mas'ud menerima baiat Tariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Itu sebabnya, Manan kecil selain belajar ilmu agama Islam, juga sudah digembleng ajaran tasawwuf pendahulunya.
Pribadi Teduh Meneduhkan
KH. Abdullah bersama para Habaib saat berkunjung di kediaman beliau di Desa Bulak Kec. Rowosari |
Saat bagian tulisan ini dibuat, penulis sedang bersama
Habib Fihir yang baru saja datang dari Jakarta. Ini kunjungan kali kedua habib
muda ini datang ke rumah. Ia berkisah saat ‘sowan’ di kediaman Kyai Abdullah. “Kiai
Abdullah ini termasuk golongan sholihin”, kenangnya. Memang, Simbah Dullah
tidak membeda-bedakan tamunya. Baik perbedaan usia, golongan, maupun status sosial.
Tak terkecuali Habib Fihir ketika berkunjung ke ‘ndalem’
Mbah Dullah. Walaupun sudah ‘sepuh’, ia begitu menghormati Habib Fihir tamunya.
Mengambilkan minum juga sekedar makanan kecil. Habib Fihir yang usianya jauh lebih
muda bermaksud menolak keinginan Mbah Dullah. Hawatir ‘ngrepoti’. Tapi dengan
santun Mbah Dullah berkata:
“Sudah tidak apa-apa, kanjeng Nabi SAW, kakek buyut panjenengan sudah ‘matur’ agar kita umatnya diperintah untuk menghormati tamu”.
Mendengar jawaban Mbah Dullah, Habib Fihir terdiam. Seolah
kehabisan pasal untuk menolak. Namun, eit, sejurus kemudian Habib Fihir lantas
menjawab,
“Iya Mbah, tapi Nabi SAW juga bersabda agar yang muda lebih hormat kepada yang lebih tua.”
Hingga terjadi
perdebatan yang penuh dengan canda tawa. Canda yang berbobot sarat nilai agama.
Pun demikian Habib Fihir tidak bisa menolak penghormatan Mbah Dullah kepada tamunya.
Selang beberapa bulan setelah kejadian itu, habib Fihir
mendapat kabar meninggalnya Mbah Dullah. Ia merasa sangat kehilangan. “Kiai
Abdullah itu orang besar tapi tidak merasa besar. Saya merasa kehilangan
tongkat mendengar Kiai Abdullah meninggal dunia. Sulit mencari orang seperti
beliau,” kenangnya.
KH. Abdullah bersama Habib A. Firdaus bin Masyhur Al Munawwar saat acara Maulidurrasul di Desa Bulak Rowosari |
bismillah
BalasHapus